Potensi yang
terdapat dalam diri seseorang berbeda-beda, ada yang memiliki potensi di bidang
akademis, dan ada juga di bidang non-akademis. Selain itu potensi diri juga
bisa di kategorikan sebagai cita-cita yang ingin di capai oleh orang tersebut.
Sebagai contoh, seorang anak kecil bercita-cita ingin menjadi seorang pilot,
dokter, arsitek, presiden, dan sebagainya.
Dalam mengembangkan
potensi diri tersebut ada berbagai macam hambatan dan rintangan yang harus di
jalani, selain itu ada juga cara untuk mencapai cita-cita atau potensi yang
kita inginkan. Hambatan ini bisa datang dari dalam ataupun dari luar. Hambatan
yang datang dari dalam diri contohnya adalah: kita masih merasa kurang cocok
dengan cita-cita atau keinginan yang akan kita capai. Dan contoh hambatan yang
datang dari luar diri adalah: orang terdekat kita merasa cita-cita yang kita
ambil kurang cocok.
Dalam hal ini orang
terdekat yang saya maksud adalah orang tua kita sendiri. Mereka merasa
cita-cita yang kita ambil kurang bermanfaat di masa depan. Kondisi yang paling
sering di tentang oleh orang tua kepada anaknya adalah ketika si anak lebih
memilih potensi di bidang non-akademis dari pada di bidang akademis. Contohnya
si anak lebih memilih di bidang seni musik atau memilih di bidang seni rupa.
Dalam benak mereka adalah orang yang memilih di bidang non-akademis saat masa
tua-nya tidak akan bahagia (dalam hal materi).
Orang tua lebih
senang anaknya memiliki cita-cita di bidang akademis, ya minimal si anak menjadi
polisi, mungkin agar si anak bisa di banggakan di depan umum. Padahal itu semua
merupakan persepsi yang salah. Banyak orang menjadi besar dan terkenal dari
bidang non-akademis. Selain itu banyak anak yang perang batin antara mematuhi
perintah orang tua-nya atau mengikuti kemampuannya di bidang yang mulai dia
tekuni itu.
Dalam hal ini banyak
anak yang mau tidak mau harus mengikuti kemauan orang tuanya, sebenarnya tidak
ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya, mereka hanya ingin melihat sang
anak bahagia di masa tua-nya nanti. Tapi cara yang mereka gunakan sebenarnya
salah, mereka mengekang anak dalam mengembangkan potensi diri yang ada di dalam
diri sang anak. Selain dari pihak orang tua, pihak sekolah juga turut andil
dalam pengembangan potensi si anak.
Sekolah di Indonesia
masih menerapkan semua mata peajaran, tidak seperti di Luar Negeri yang
membebaskan siswanya memilih mata pelajaran yang mereka senangi. Sebagai contoh
jika si anak suka pelajaran fisika, seharusnya dia belajar fisika, tidak belajar
pelajaran bahasa, biologi, dan sebagainya. Jadi hanya di fokuskan satu
pelajaran yang dia senangi itu. Tidak ada orang di dunia ini yang bodoh, pada
dasarnya semua manusia pintar, tapi kepintarannya ini banyak yang tidak
tersalurkan. Dan tidak semua manusia pintar dalam segala bidang, contohnya kita
suruh para fisikawan untuk membaca not balok, mereka tentu tidak bisa di
karenakan bukan bidang ke ahliannya, begitu juga para musisi kita suruh untuk
merancang sebuah rumah, mereka juga tentu tidak bisa karena bukan bidangnya.
Sebagai contoh, saya
memiliki potensi di bidang non-akademis, yaitu di bidang seni musik. Saya lebih
tertarik mempelajari berbagai jenis alat musik ketimbang menghafal rumus dalam
pelajaran matematika, fisika, dan kimia. Alat musik pertama yang saya pelajari
adalah gitar, awalnya saya meminta orang tua untuk membelikan sebuah gitar
untuk menghilangkan rasa bosan. Seiring berjalannya waktu saya meminta orang
tua untuk mempelajarinya lebih dalam, tapi apa yang terjadi, orang tua tidak mengizinkan.
Akhirnya saya
belajar secara sendiri dengan membeli beberapa buku dan menonton tutorial-nya
di internet. Saat saya meminta orang tua saya untuk memberi saya les gitar,
mereka mengatakan: “untuk apa les gitar? Masih ada pelajaran yang lebih penting
yang masih bisa kamu lakukan”. Dari situ saja sudah dapat di lihat kalau orang
tua menghambat potensi yang ada dalam diri anaknya.
Selain itu mereka
juga pernah berbicara seperti ini kepada saya: “kalau kamu ingin menjadi
musisi, lebih baik kamu berhenti sekolah”. Ancaman seperti ini sering sekali di
ucapkan oleh orang tua kepada anaknya agar si anak menuruti perintah orang tua.
Dengan berat hati saya terpaksa menuruti perintah orang tua agar mereka tidak
kecewa. Biarpun mendapat hambatan seperti ini, saya tidak pernah menyerah, ilmu
tersebut tidak hanya di dapatkan di tempat les, ilmu tersebut masih bisa saya
di dapatkan di internet, buku, dan teman-teman.
Selain gitar, alat
musik yg bisa saya mainkan adalah bass, walaupun masih standar, awalnya setelah
mendapatkan gitar, saya ingin meminta orang tua membelikan saya bass, sebelum
saya meminta, saya sudah tau jawabannya pasti “TIDAK DI BELIKAN”. Itu juga
merupakan hambatan saya. Jika ada kesempatan, saya ingin belajar berbagai alat
musik, walaupun masih di tentang oleh kedua orang tua.
Untuk kedepannya
saya tetap akan mengembangkan potensi yang ada di dalm diri saya, yaitu di
bidang seni musik, untuk para orang tua sadarilah potensi yang terdapat di
dalam diri anak anda, jangan egois, tidak semua anak merasa nyaman terhadap apa
yang anda lakukan. Cobalah memberi sang anak kebebasan dalam memilih apa yang
ingin di capainya, siapa tau sang anak lebih unggul di bidang non-akademis
ketimbang di bidang akademis.
Untuk para anak,
jangan takut untuk bicara pada orang tua kalian tentang apa yang kalian capai,
beri pengertian orang tua. Apabila waktu bisa di putar ulang saya ingin
mengembangkan potensi saya, sebenarnya banyak kesempatan di masa lalu, tapi
kesempatan di masa yang akan datang juga ada, maka dari itu janganlah
menyia-nyiakan kesempatan yang datang tersebut.